Jumat, 22 April 2011

Adolf Hitler meninggal di Indonesia ?

Diktator Jerman, Adolf Hitler diyakini tewas bunuh diri di sebuah bunker di Berlin pada 30 April 1945. Namun, fakta itu kini dipertanyakan. kematian diktator Jerman Adolf Hitler, kembali jadi perbincangan hangat. Koran The Daily Telegraph pada 28 September 2009 menurunkan satu laporan, tengkorak yang selama ini diduga milik Hitler dan disimpan di Rusia ternyata, bukanlah tengkorak tokoh tersebut.

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjWqBPKJT03b9aR-FAETxGA-PHz9qt-BrqUdezqsAzFbB2noQKR0Tk6f-4KEfSrTvvfduGVnbsOtuND-LoNcxEJLYP7ptoYWT_3S23gofxyauF_xQEYXrnc-pWhu34uk7GW35MfDYXbLis/s1600/hitler1.jpg

Dalam Program History Channel Documentary, koran yang terbit di Inggris itu menjelaskan, tengkorak tersebut merupakan tengkorak perempuan yang meninggal di bawah usia 40 tahun.

Dengan informasi ini, semakin terbuka munculnya spekulasi seputar kematian tokoh Perang Dunia II tersebut. Selama ini, sebagian masyarakat dunia meyakini pemimpin Nazi (Nationalsozialismus) Jerman tersebut, tewas bunuh diri di salah satu bunker di Berlin pada 30 April 1945 bersama kekasihnya Eva Braun. Ketika itu usia Hitler 56 tahun.

http://politikana.com/images/small/hitler.jpg

Sebagian lagi beranggapan, Hitler berhasil melarikan diri bersama Eva Braun, kemudian menghabiskan masa tuanya di Brasil, Argentina, atau wilayah lainnya di Amerika Selatan. Masing-masing pihak mengemukakan berbagai argumen yang memperkuat dugaan mereka. Sejumlah dokumen diungkapkan dan para saksi pun berbicara.

Selain versi yang sudah lama dikenal dunia, terdapat versi Indonesia yang boleh jadi merupakan versi terbaru. Dalam versi itu dijelaskan tentang kemungkinan Hitler melarikan diri ke Indonesia dan meninggal di Surabaya. Dugaan ini didasarkan pada penuturan seorang dokter warga Bandung, Sosrohusodo.

Sosro adalah dokter lulusan Universitas Indonesia. Dia menuliskan pendapatnya pada satu artikel di Pikiran Rakyat pada 1983. Kemudian pada 1994 saya bertemu dengan Sosrohusodo. Hasil wawancara itu dimuat Pikiran Rakyat pada 24 Februari 1994 dalam bentuk artikel yang cukup panjang. Artikel itulah yang kemudian wara-wiri di dunia maya belakangan ini.

Pertemuan dengan Sosrohusodo ketika itu dilakukan atas permintaannya. “Saya ini sudah tua. Akan tetapi, saya masih memiliki satu beban besar yang hingga kini belum terungkap, yaitu mengenai diktator Jerman Adolf Hitler,” katanya, saat berbincang di rumahnya Jln. Setiabudhi seberang kampus UPI Bandung. Rumahnya tidak begitu besar, tetapi halamannya cukup luas. Raut gelisah terlihat di wajah Sosrohusodo.

Dia pun memperlihatkan setumpuk dokumen yang tampak lusuh. Diikat dengan beberapa belit benang. Antara lain berisi foto-foto lama, yang memperlihatkan seorang lelaki dan perempuan bule warga negara Jerman, paspor, dan buku harian dengan tulisan steno. Terdapat pula foto seorang wanita Sunda, yang disebutnya sebagai sumber amat penting dan memperkuat teorinya itu.

Lelaki dalam foto-foto itu bernama dr. Poch, pemimpin salah satu rumah sakit umum di Pulau Sumbawa Besar. Sosro sempat bertemu langsung beberapa kali dengan Poch, saat bertugas sebagai tenaga kesehatan di kapal Hope yang dijadikan rumah sakit pada 1960.

“Melalui perbincangan tentang masa lalunya dan ciri-ciri fisik, saya semakin yakin Poch bukan orang sembarangan. Saya curiga dialah Adolf Hitler yang misterius itu. Apalagi, dia ditemani seorang perempuan yang menurut saya wajahnya mirip Eva Braun, kekasihnya. Akan tetapi, keyakinan ini saya pendam sangat lama. Hingga saya selesai bertugas di kapal Hope, rasa penasaran itu belum terjawab,” kata pria kelahiran Gundih Jawa Tengah, yang saat itu berusia 63 tahun.

Kaki Kiri dr. Poch tidak Normal
Keyakinan dan sekaligus rasa penasaran Sosrohusodo muncul kembali, setelah lebih dari dua puluh tahun kemudian dia menemukan informasi-informasi baru. Maka dia pun melakukan rekonstruksi pengalamannya, membuka kembali catatan-catatan, dan menuangkannya dalam bentuk tulisan. Sosro benar-benar tertantang untuk mengungkap misteri dr. Poch. Saat itu, dia memperlihatkan sejumlah tulisan yang dibuatnya seperti diktat.

Kaki yang Diseret
Dari perjumpaannya dengan Poch, Sosro mengetahui kaki kiri dokter tersebut tidak normal. Jika berjalan harus diseret. Sementara tangan kirinya selalu gemetar. Kumisnya dipotong pendek dan hanya tersisa di tengah. Persis seperti yang ditirukan komedian terkenal Charlie Chaplin. Tidak tersisa rambut di kepalanya alias plontos.

Jika benar Poch adalah Hitler, pada saat bertemu Sosro dia berusia 71 tahun. Sebab, Hitler lahir pada 1889. ”Saya kira usianya seperti itu, sesuai dengan penampilan fisiknya. Saya ingat betul kondisi fisiknya, karena bukan hanya sekali bertemu dengannya dan berbicara tentang hal itu,” kata Sosro.

Hal lain yang membuatnya heran, ternyata Poch tidak memiliki ijazah kedokteran, tidak memiliki lisensi apa pun di bidang kesehatan. Akan tetapi, ternyata dia bisa memimpin satu rumah sakit. Sehari-hari Poch sering membungkus tubuhnya dengan seragam putih, pakaian khas dunia kedokteran. Sebagai seorang dokter, Sosro pernah memancing Poch dengan percakapan soal kesehatan.

“Poch ternyata tidak menguasai dunia medis, saya tahu itu. Dari pembicaraannya, dia tidak mengerti soal kedokteran. Ini makin misterius saja. Lalu siapa yang mengangkatnya menjadi pemimpin rumah sakit tersebut. Tentu tidak sembarang orang bisa menjadi pimpinan salah satu lembaga penting seperti itu,” kata Sosro.

Pada satu kesempatan berkunjung ke kediaman Poch, banyak hal dikemukakan dokter tua tersebut yang justru memperkuat dugaan Sosro. Misalnya saat ditanya tentang pemerintahan Hitler, Poch secara terang-terangan memujinya. Dia juga menolak anggapan terjadinya pembantaian besar-besaran terhadap orang Yahudi di Kamp Auschwicz. Padahal, dalam sejarah dunia kamp yang satu ini merupakan cerita horor legendaris pada masa kejayaan Nazi.

Poch juga mengaku tidak tahu-menahu, ketika ditanya tentang kematian Adolf Hitler pada 1945 di Berlin. Dia hanya bercerita, keadaan saat itu benar-benar kacau-balau dan setiap orang berusaha untuk menyelamatkan diri. Poch seperti menghindar jika ditanya terlalu jauh soal sosok Hitler dan sepak terjang Nazi.

Hampir sepanjang perbincangan berlangsung, lelaki tua yang gemar memotret itu mengeluhkan tentang tangan kirinya yang gemetar. Sosro kemudian meminta izin untuk memeriksa saraf ulnarisnya. Ternyata tidak ada kelainan. Demikian pula dengan tenggorokannya sehat-sehat saja. Saat itu, Sosro menyimpulkan kemungkinan “Hitler” hanya menderita parkinson, berkaitan dengan usianya yang lanjut.

Lalu Sosro berasumsi, kemungkinan penyakit itu muncul karena trauma psikis. “Dugaan saya langsung diiyakan Poch. Saya kaget juga. Akan tetapi, ketika saya tanya lebih jauh sejak kapan penyakit itu menghinggapinya, Poch malah bertanya kepada istrinya dalam bahasa Jerman. “Ini terjadi ketika Jerman kalah di pertempuran dekat Moskow. Saat itu Goebbels mengatakan bahwa kau memukuli meja berkali-kali.” ujar istrinya seperti ditirukan Sosro.

Siapa Goebbels? Apakah yang dimaksud adalah Joseph Goebbels, wartawan yang banyak membantu gerakan Nazi dan kemudian menjadi Menteri Propaganda pada pemerintahan Hitler? “Tidak tahu keceplosan atau bagaimana, beberapa kali istrinya memanggil Poch dengan sebutan ‘Dolf’. Apakah ini merupakan kependekan dari ‘Adolf’ atau bukan, saya tidak begitu pasti. Namun, itulah yang saya dengar langsung,” katanya.

Tulisan di Majalah “Zaman”
PERJUMPAAN Sosrohusodo dengan “Hitler” diwarnai berbagai kebetulan. Kebetulan pertama, ketika dia bertugas di Kapal Hope. Kebetulan kedua terjadi pada tahun 1981. Setelah lebih dari 21 tahun, pengalaman bertemu dengan Poch terekam dalam benaknya dan dicatat pada buku hariannya, seorang keponakannya datang berkunjung ke Bandung dan memperlihatkan mazalah Zaman edisi No. 15 Januari 1980.

Pada majalah tersebut terdapat sebuah artikel yang ditulis Heinz Linge, bekas orang dekat Hitler, berjudul “Cerita Nyata Hari Terakhir Seorang Diktator”. Tulisan tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Try Budi Satria. Sambil memperlihatkan majalah Zaman, Sosro menerangkan, dalam tulisan itu Linge menceritakan tentang peristiwa bunuh diri Hitler dan Eva Braun. Kemudian menerangkan tentang kondisi fisik Hitler saat itu.

“Beberapa alinea dalam tulisan itu membuat jantung saya berdetak keras, seperti menyadarkan saya kembali. Sebab di situ ada ciri-ciri Hitler yang juga saya temukan pada diri si dokter tua Jerman. Apalagi setelah saya membaca buku biografi Hitler. Semuanya ada kesamaan,” ucap ayah empat anak ini.

Heinz Linge menulis, “Beberapa orang di Jerman mengetahui bahwa Führer sejak saat itu kalau berjalan maka dia menyeret kakinya, yaitu kaki kiri. Penglihatannya pun sudah mulai kurang terang serta rambutnya hampir sama sekali tidak tumbuh. Kemudian, ketika perang semakin menghebat dan Jerman mulai terdesak, Hitler mulai menderita penyakit kejang urat“.

Di samping itu, tangan kirinya pun mulai gemetar pada waktu kira-kira pertempuran di Stalingrad tidak membawa keberuntungan bagi tentara Jerman, dan ia mendapat kesukaran untuk mengatasi tangannya yang gemetar itu. Pada akhir artikel, Linge menulis, ”Tetapi aku bersyukur bahwa mayat dan kuburan Hitler tidak pernah ditemukan”. Semangat untuk mengungkap misteri Poch semakin menggebu di dada Sosrohusodo.

Buku Harian Misterius tentang Kisah Pelarian Nazi
SOSROHUSODO menemukan data menarik dalam buku harian berukuran saku milik Poch. Dalam buku lusuh tersebut ditemukan ratusan alamat orang asing yang tinggal di berbagai negara di dunia. Di berbagai halamannya terdapat coretan tangan yang sulit dibaca. Di bagian lainnya terdapat tulisan steno. Semuanya berbahasa Jerman.

“Lihat ini catatannya. Buku ini banyak berbicara dalam upaya pengungkapan sosok misterius Poch. Memang tidak mudah, tetapi saya tertantang. Mungkin ini hanya soal waktu,” kata Sosro sambil membuka halaman-halaman buku kecil itu.

Memang tidak ada identitas jelas pemilik buku itu. Hanya, ada beberapa kode terdiri atas angka-angka yang tidak jelas maknanya. Pada sampul depan bagian dalam, tertulis kode J.R. KePaD No. 35637 dan 35638, dengan masing-masing nomor ditandai lambang biologis laki-laki dan perempuan. “Ini memperkuat dugaan saya, buku itu milik kedua orang yang saya yakini sebagai Hitler dan Eva Braun. Mereka menutup identitasnya rapat-rapat, tetapi tetap ada celah yang menuntun pada kenyataan sebenarnya,” tuturnya.

Sementara nama-nama negara yang tertulis dalam buku itu antara lain Pakistan, Tibet, Argentina, Afrika Selatan, dan Italia. Di salah satu halamannya terdapat tulisan yang dalam bahasa Indonesia berarti “Organisasi Pelarian. Tuan Oppenheim pengganti Ny. Kruger. Roma Sardegna 79a/1. Ongkos-ongkos untuk perjalanan ke Amerika Selatan (Argentina)“.

Lalu, ada satu nama dalam buku saku tersebut yang sering disebut-sebut dalam sejarah pelarian orang-orang Nazi, yaitu Prof. Dr. Draganowitch, atau ditulis pula Draganovic. Di bawah nama Draganovic tertulis Delegation Argentina da Imigration Europa – Genua Val Albaro 38. Secara terpisah, di bawahnya lagi tertera tulisan Vatikan. Di halaman lain disebutkan, Draganovic Kroasia, Roma via Tomacelli 132.

Sosro kemudian memperlihatkan majalah Intisari terbitan Oktober 1983, yang memuat sosok Klaus Barbie alias Klaus Altmann, bekas anggota polisi rahasia Jerman zaman Nazi. Di situ tertulis satu alamat Val Albaro. Disebutkan pula bahwa Draganovic memang memiliki hubungan dekat dengan Vatikan Roma. Profesor inilah yang membantu pelarian Klaus Barbie dari Jerman ke Argentina. Pada 1983, Klaus diekstradisi dari Bolivia ke Prancis, negara yang menjatuhkan hukuman mati terhadapnya pada 1947.

“Masih banyak alamat dalam buku ini yang belum seluruhnya saya ketahui relevansinya dengan gerakan Nazi. Saya juga sangat berhati-hati tentang hal ini, sebab menyangkut negara-negara lain. Saya masih harus bekerja keras menemukan semuanya. Saya yakin kalau nama-nama yang tertera dalam buku kecil ini adalah para pelarian Nazi,” katanya.

Rute Pelarian Hitler Dalam Tulisan Steno
SETELAH menerima buku catatan harian dr. Poch dari Ny. S, Sosrohusodo bingung ketika harus menerjemahkan bagian yang ditulis dengan huruf steno. Dia bertanya ke beberapa orang yang mengerti soal stenografi. Namun, mereka kurang paham karena model steno itu jarang dipakai pada masa sekarang.

“Akhirnya saya menyurati penerbit buku steno di Jerman, minta bantuan mereka. Selang beberapa waktu kemudian datang jawaban, steno yang contohnya saya kirimkan itu merupakan stenografi Jerman yang sudah ’kuno’. Namanya sistem Gabelsberger dan sudah lebih dari 60 tahun tidak dipakai lagi,” tutur Sosrohusodo.

Meski demikan, pihak penerbit berjanji akan mencarikan orang yang ahli steno Gabelsberger. Ternyata penerbit itu menepati janjinya, dengan mengirimkan terjemahan steno itu ke dalam bahasa Jerman. Lalu Sosro menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia.

Judul catatan itu kurang lebih “Keterangan Singkat tentang Pengejaran Perorangan oleh Sekutu dan Penguasa Setempat pada Tahun 1946 di Salzburg“. Salzburg adalah nama kota di Austria. Di dalam catatan itu antara lain tertulis, “Kami berdua, istri saya dan saya, pada tahun 1945 di Salzburg“.

Memang tidak secara jelas diterangkan identitas “kami berdua” dalam catatan tersebut. Akan tetapi, yang jelas tersirat mereka berdua berada dalam ancaman. Antara lain dikejar-kejar oleh CIC (Dinas Rahasia AS). “Pokoknya catatan itu menggambarkan penderitaan orang yang diburu pihak keamanan,” tutur Sosrohusodo.

Selain itu, terdapat pula abjad yang ditulis dengan huruf besar secara mencolok. Kalau diurutkan, kemungkinan merupakan rute pelarian keduanya. Huruf-huruf itu adalah B, S, G, J, B, S, R. Menurut Sosro, cara menyingkat tulisan seperti itu merupakan kebiasaan Hitler dalam membuat catatan. ”Kebiasaan ini ditemukan pula dalam literatur lain yang saya baca,” ujarnya.

Lalu dia menerjemahkan dan mengaitkannya dengan kemungkinan rute pelarian Hitler. Kedua insan itu memulai pelariannya dari B yang berarti Berlin, lalu S (Salzburg), G (Graz), J (Jugoslavia), B (Beograd), S (Sarajevo), dan R (Roma). Roma, menurut dia, sebagai kota terakhir di Eropa yang menjadi tempat pelarian kedua orang itu. Setelah itu, mereka keluar dari benua tersebut menuju sebuah tempat bernama Pulau Sumbawa.

Sosro membacakan hasil terjemahan dari catatan harian itu, ”Pada hari pertama di bulan Desember, kami harus pergi ke R untuk menerima surat paspor yang kemudian berhasil membawa kami meninggalkan Eropa”. Keterangan ini sesuai dengan data pada paspor dr. Poch yang menyebutkan, paspor bernomor 2624/51 diberikan di Rom (tanpa huruf akhir a). Pada catatan buku itu nama Dragnovic dikaitkan dengan Roma.

Sosro kembali memperlihatkan majalah Zaman edisi 14 Mei 1984 ketika membahas tentang Berlin dan Salzburg. Menurut dia, sejarah mencatat peristiwa jatuhnya pesawat yang membawa surat-surat rahasia Hitler di sekitar Jerman Timur tahun 1945. Kenyataan ini menjadi petunjuk tentang rute pelarian mereka.

Makam G.A. Poch di Ngagel Utara, Surabaya
Tentang pelarian Hitler, Sosrohusodo menyimpan kisah yang didengar dari masyarakat tempatnya bertugas di Sumbawa. Masyarakat di sana bercerita, pada suatu ketika mereka melihat munculnya kapal selam dari laut yang disusul dengan pendaratan sebuah wahana yang berbentuk bulat.

http://4.bp.blogspot.com/_qH8OZ06Lr30/TGzkjCdNXbI/AAAAAAAAAf8/JOf1W7x0kxY/s400/85626_makam_dr_poch_di_tpu_ngagel_utara__surabaya.jpg

“Saya mendengar cerita ini dari mulut ke mulut. Saya jadi bertanya-tanya, apakah ini ada kaitan dengan kemungkinan larinya Hitler menggunakan kapal selam dari Eropa ke perairan Sumbawa? Tidak begitu jelas. Tapi juga bukan sesuatu yang tidak mungkin,” katanya.

Sosro sangat yakin, orang sebesar dan sepenting Hitler memiliki pengikut setia. Mustahil jika mereka tidak memiliki strategi penyelamatan atas pimpinan tertingginya. Apalagi kemudian diketahui beberapa dugaan terdahulu tentang akhir hidup Hitler, belum ada satu pun yang pasti.

“Jadi, bukan sesuatu yang tidak mungkin jika pengikutnya memilih Pulau Sumbawa di Indonesia. Sebab saat itu Indonesia boleh dibilang sebagai wilayah yang masih terbuka untuk dijadikan tempat persembunyian. Lokasi Pulau Sumbawa juga begitu jauh dari Benua Eropa,” ujarnya beralasan.

Sosro pun bercerita tentang pengakuan Nyonya S berkaitan dengan hal itu. Suatu hari suaminya mencukur kumisnya mirip dengan kumis Hitler, kemudian S mempertanyakan kemiripan kumisnya itu dengan kumis Hitler. Poch malah mengiyakan bahwa dirinya adalah Hitler. “Tapi jangan bilang sama siapa-siapa,” begitu Sosro mengutip ucapan Nyonya S.

Sosrohusodo mungkin termasuk orang yang teguh memegang amanah. Hal itu terbukti ketika dia menutup rapat-rapat kepanjangan nama Nyonya S. Dia hanya memberi pintu masuk menuju identitas lengkapnya dalam bentuk foto-foto dan nama tempat Babakan Ciamis.

Setidaknya terdapat dua foto yang menunjukkan hubungan suami istri antara Ny. S dan Poch. Foto yang dibuat di Sumbawa itu disebut Sosro sebagai foto saat keduanya melangsungkan pernikahan di pendopo kabupaten. Penggunaan pendopo sebagai tempat hajatan menunjukkan posisi Poch yang dihormati di kalangan masyarakat setempat.

Pada foto itu terlihat Poch sudah semakin tua, bersetelan jas yang agak kebesaran, kemeja putih berdasi, dan berkacamata. Sementara S mengenakan kebaya putih, berkain batik, dan sanggul beruntai bunga yang jatuh di dada kanannya. Tangan kanannya memegang kipas. Mereka diabadikan dalam posisi berdiri.

Sementara pada foto yang satu lagi, Poch dan S duduk di kursi. Sementara di belakang mereka berdiri tiga pria. Jika senyum tampak tersungging di bibir S, maka di kedua foto itu wajah Poch begitu dingin. Menjelang pernikahan itulah, kata Sosro, konon Poch pindah agama menjadi seorang Muslim. Dia berganti nama menjadi Djamaluddin. Kemudian mereka pindah ke Surabaya.

Namun nama barunya sebagai seorang mualaf itu tampaknya tidak digunakan. Hal itu bisa dilihat pada makam Poch di Pemakaman Umum Ngagel Utara, Jalan Bung Tomo, Surabaya. Pada batu nisannya tertulis nama G. A. Poch. Belakangan saya baru tahu G.A. adalah kependekan dari Georg (tanpa ”e”) Anton.

Dikutip dari indobestseller.wordpress.com, gambar dari Situslakalaka.blogspot.com

1 komentar:

  1. wes sejarah memang sejarah kebenarannya susah terungkap itulah sejarah

    BalasHapus